Gerakan Cinta Prabowo Maluku Utara, Tolak WKP di Wilayah Talaga Rano Halmahera Barat

Arman Rasid Rifa sadjidin
PENOLAKAN: Ketua Bidang Organisasi Gerakan Cinta Prabowo (GCP) Maluku Utara, Anton Ilyas, Kamis (23/10/2025) ist

Bacanesia.com,HALBAR-Gerakan Cinta Prabowo (GCP) Maluku Utara, menolak Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) yang meliputi wilayah hutan Talaga Rano yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM di Kabupaten Halmahera Barat, Kamis (23/10/2025).

Melalui pelelangan Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) dengan nomor: 08.Pm/EK.04/DEP/2025 menuai kritikan dan penolakan oleh Ketua Bidang Organisasi GCP Maluku Utara, Anton Ilyas.

Pasalnya, diduga energi hijau yang dibungkus dengan kepentingan politik eksploitasi sumber daya alam diprediksi hanya akan merusak kearifan lokal yang melegenda di talaga rano yang dimiliki oleh masyarakat adat setempat di Halmahera Barat.

Geothermal bukan solusi bagi Masyarakat Halmahera Barat, bahkan tidak membutuhkan proyek energi baru terbarukan yang dinilai dapat menyingkirkan ruang hidup masyarakat dan unsur ekologis.

“Menolak proyek geothermal di talaga rano bukan berarti menolak kemajuan. Sebaliknya, ini adalah tindakan menghormati alam, yang telah lebih dulu memberi kehidupan, serta memastikan warisan geologis dan biologisnya tetap lestari,”jelasnya.

Anton menyebut pelelangan WKP talaga rano merupakan sebuah instrumen kapitalisme yang berkembang. Melalui ekspansi sistem yang tidak transparansi diperlihatkan oleh pemerintah pusat melalui Kementerian ESDM, terkesan mengabaikan ruang hidup dan ekologis yang ada di wilayah talaga rano.

“Olehnya itu, untuk menjaga agar semua kehidupan tetap terjaga, maka kami meminta kepada Bapak Presiden Prabowo Subianto, agar segera memberikan atensi atas persoalan yang terjadi di wilayah talaga rano, Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara,”kata Anton.

Ia kembali mempertegaskan, berdasarkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, tentang pengakuan dan penghormatan negara terhadap hukum adat. Kemudian Pasal 28I ayat (3) UUD 1945, tentang identitas budaya dan hak masyarakat tradisional.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA). Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, yang menegaskan bahwa hutan adat bukan hutan negara.

Lanjut Anton menuturkan, sementara masyarakat setempat menolak terkait aktivitas panas bumi. Meskipun perihal tersebut baru memasuki tahapan pelelangan.

“Dengan alasan bahwa di talaga rano masih tersimpan Satwa Endemik salah satunya Burung Bidadari Halmahera. Kemudian talaga rano ini awalannya adalah Wilayah Perkampungan Desa Gamsungi (Kampung Tua). Oleh karena itu, mereka lebih mengedepankan agar talaga rano dijaga kelestariannya dan historisnya, ketimbang harus di kelola melalui proyek panas bumi yang justru berdampak pada kondisi ekologis,”tandasnya.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini